Senin, 08 Juli 2013

Menentukan Awal Bulan Qomariyah dengan Rukyatul Hilal bukan Hisab

Bismillahirahmaanirrahiim.
Alhamdulillah. Wa sholatu’alaa rasulillah wa’alaa ‘alihi wa ash habihi wa man tabi’ahum bi ihsaan illaa yaumiddin. Amma ba’du.
Sesungguhnya perkara yang seringkali ada di bulan Ramadhan dan Syawwal setiap tahun dan berulang adalah menentukan awal bulan. Baik itu tanggal 1 Ramadhan ataupun tanggal 1 Syawwal. Allah dan Rasul-Nya telah mencontohkan berkali-kali tentang hal ini yaitu dengan melihat bulan bukan dengan hisab (menghitung dengan rumus tertentu). Kita akan bahas satu per satu.
Dalil Disyari’atkannya Melihat Hilal
Dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
الشهر تسع وعشرون ليلة فلا تصوموا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
”Bulan itu ada 29 malam (hari). Janganlh kalian mulai berpuasa hingga melihat bulan. Apabila ia tertutup dari pandangan kalian, maka sempurnakanlah hitungan hari (dalam satu bulan) menjadi 30 hari” (HR. Al-Bukhari no. 1907).

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين
“Berpuasalah jika kalian telah melihat bulan, dan berbukalah jika kalian melihatnya pula. Dan apabila bulan tertutup (awan) dari pandangan kalian, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari” (HR. Al-Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته وانسكوا لها فإن غم عليكم فأكملوا ثلاثين فإن شهد شاهدان فصوموا وأفطروا
“Berpuasalah jika kalian melihat bulan dan berbukalah jika kalian melihatnya pula, serta menyembelihlah (pada bulan Dzulhijjah) karena melihatnya. Jika bulan itu tertutup dari pandangan kalian, maka sempurnakanlah (bulan Sya’ban) menjadi 30 hari. Dan jika ada dua orang yang memberi kesaksian melihat bulan, maka berpuasalah dan berbukalah kalian” (HR. Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 2116, Ahmad 4/321, dan Ad-Daruquthni 3/120 no. 2193; lafadh ini milik An-Nasa’i. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil no. 909).
Apabila hilal telah terlihat yang menandakan tanda mulainya Bulan Ramadlan (atau bulan-bulan yang lainnya), maka disunnahkan membaca doa :
اَللهُ أَكْـبَرُ، اَللّهُمَّ أَهِلَّـهُ عَلَيْـنَا بِاْلأَمْـنِ وَاْلإِيْمـَانِ، وَالسَّلامَـةِ وَاْلإِسْلامِ، وَالتَّـوْفِيْـقِ لِمَا تُحِـبُّ وَتَـرْضَـى، رَبُّنـَا وَرَبُّكَ اللهُ
[Alloohu akbar. Alloohumma ahillahu ‘alainaa bil-amni wal-iimaan. Was-salaamati wal-islaami, wat-taufiiqi limaa tuhibbu wa tardloo. Robbunaa wa robbukallooh]
“Allah Maha Besar. Ya Allah, tampakkan bulan satu itu kepada kami dengan membawa keamanan dan keimanan, keselamatan dan Islam serta mendapat taufiq untuk menjalankan apa yang Engkau senang dan rela. Rabb kami dan Rabbmu (wahai bulan sabit) adalah Allah” (HR. At-Tirmidzi no. 3451, Ad-Daarimi no. 1730, dan Ibnu Hibban dalam Mawaridudh-Dham’an hal. 589. At-Tirmidzi berkata : Hadits hasan gharib. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 3/423).
Pembahasan Hisab
Bagaimana dengan hisab, sebagian besar orang-orang menggunakan dalil hadits nomor 1907 yang diriwayatkan oleh Bukhari tersebut. Namun hal ini sangat tidaklah tepat. Sebab menggunakan dalil hadits yang mana hadits tersebut digunakan untuk dalil Rukyat adalah sebuah kesalahan. Ada beberapa faktor yang dianggap menyelisihi sunnah, diantaranya adalah:
1. Dengan metode hisab, seseorang bisa saja memperkirakan dan menghitung tanggal 1 Ramadhan atau 1 Syawwal jauh sebelum mereka menemui Ramadhan atau Syawwal. Bahkan dengan metode hisab seseorang bisa saja menghitung tanggal 1 Ramadhan 20 tahun ke depan.
2. Menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawwal telah diajarkan oleh rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam. Semoderen apapun perhitungan hisab, seakurat apapun, tapi syari’at tetaplah syari’at. Dan yang benar adalah harus mengikuti syari’at yang di bawa oleh Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam.
3. Perhitungan hisab sudah ada sejak dulu, bahkan sebelum tahun hijriyah ada, hisab sudah ada sejak dulu. Karena itulah dulu para petani ataupun para nelayan faham kapan mereka panen, dan juga tahu kapan terjadi gerhana. Bahkan pada peradaban Mesir sudah ditemukan cara menghitung hisab, namun Allah dan Rasul-Nya mempunyai sunnah sendiri. Dan mengikuti sunnah itu lebih baik.
4. Menganggap hisab lebih baik daripada melihat hilal, maka seseorang akan terjerumus kepada kesalahan, yaitu meremehkan syari’at yang dibawa oleh rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam. Dan sungguh aku nasehatkan kepada kalian untuk berhati-hati dalam masalah ini.
Hari Raya Mengikuti Pemerintah ataukah Menentukan waktu Sendiri?
Ada sebuah kaidah yang disampaikan oleh Syaikh Al Albani:
“Inilah yang sesuai dengan syari’at yang mudah ini (yaitu : berpuasa dan berhari raya ‘Iedul-Fithri bersama masyarakat/orang banyak – tidak menyendiri) yang diantara tujuan-tujuannya adalah menyatukan umat dan menyamakan barisan-barisan mereka, serta menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang dapat mencerai-beraikan persatuan mereka dari pemikiran-pemikiran individualistis, sehingga syari’at tidaklah memihak kepada pemikiran seseorang – walaupun benar dari sudut pandang dirinya – dalam peribadatan yang bersifat jama’i seperti puasa, hari raya, dan shalat berjama’ah. Tidaklah Anda pernah melihat bahwa para shahabat radliyallaahu ‘anhum, mereka sebagiannya shalat di belakang lainnya dalam keadaan di antara mereka ada yang menilai bahwa menyentuh wanita, kemaluan, atau keluarnya darah termasuk pembatal-pembatal wudlu. Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna di waktu safar, dan sebagian lagi ada yang mengqasharnya ? Kendatipun demikian, perselisihan mereka dengan yang lainnya tidaklah menjadi penghalang bagi mereka untuk berkumpul (bersatu) di dalam masalah shalat di belakang imam yang tunggal, sehingga mereka tidak berpecah karenanya. Hal itu karena pengetahuan mereka bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek dari sekedar perbedaan sebagian pendapat. Bahkan sampai pada tingkatan dimana sebagian mereka tidak menghiraukan suatu pendapat yang menyelisihi pendapat imam besar di lingkup yang lebih besar seperti ketika di Mina, hingga mendorongnya untuk meninggalkan pendapat pribadi secara mutlak dalam lingkup tersebut, demi menjauhi akibat buruk yang akan ditimbulkan karena beramal dari hasil pemikirannya (yang menyelisihi imam)”. Maka diriwayatkan oleh Abu Dawud 1/307 (sebuah contoh yang sangat baik dalam masalah ini) :
أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا , فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين , و مع أبي بكر ركعتين , و مع عمر ركعتين , و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها , ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين , ثم إن ابن مسعود صلى أربعا ! فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت أربعا ! قال : الخلاف شر .
Bahwasannya ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu shalat di Mina empat raka’at, maka berkatalah Abdullah bin Mas’ud dalam rangka mengingkari perbuatannya : “Aku shalat (ketika safar) bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dua raka’at, bersama Abu Bakar dua raka’at, dan bersama ‘Umar dua raka’at, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, kemudian beliau melakukannya dengan sempurna (empat raka’at – tidak diqashar), kemudian kalian berselisih, dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at (sebagaimana dilakukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam) Akan tetapi kemudian Ibnu Mas’ud shalat empat raka’at. Maka ditanyakan kepadanya : Engkau telah mencela perbuatan ‘Utsman, namun engkau sendiri shalat empat raka’at ?”. Maka beliau menjawab : “Perselisihan itu jelek”
[selesai - Lihat selengkapnya dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 224].
Sungguh pada sebagian masyarakat hal ini masih ada, yaitu ada yang mendahului, ada yang mengakhiri. Padahal yang benar adalah kita harus mengikuti pemerintah yaitu bersama-sama dengan umat Islam yang lainnya untuk berhari raya bersama-sama. Dan orang yang tidak melakukannya maka sesungguhnya mereka adalah orang yang ingin mencerai-beraikan barisan kaum muslimin.
Bagaimana Kalau Pemerintah Memakai Hisab?
Kita harus mengutamakan persatuan umat, yaitu dengan ikut merayakan Iedul Fitri atau Iedul Adha bersama-sama, apapun metode yang mereka gunakan. Walaupun begitu kita tetap yakin dan beriman bahwa yang benar adalah dengan menggunakan Rukyatul Hilal.
Penutup
Dalil-dalil tentang rukyatul Hilal sudah jelas, bahkan manusia harus mengikuti dalil daripada hawa nafsu mereka. Ini adalah persoalan iman, persoalan sunnah yang dibawa oleh rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam. Satu pertanyaan yang mengganjal adalah, “Kalau memang hisab diperbolehkan, kenapa rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam hanya mengajarkan do’a ketika melihat hilal? Kenapa tidak diajarkan do’a menghitung hisab?” Maka sudah jelas ini adalah syari’at dari Allah dan bukan buatan semata.
Untuk hisab maka yang paling cocok adalah digunakan untuk menghitung waktu sholat atau terbit matahari. Namun ini bulan Qomariyah yang artinya menentukan hari lewat beredarnya bulan bukan matahari. Maka dari itulah menggunakan rukyatul Hilal adalah satu-satunya cara menentukan tanggal 1 tiap bulannya.
Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar